Syarat Puasa
Para pembaca sekalian ingatlah puasa memiliki syarat-syarat sebagaimana pula shalat. Jika syarat ini tidak ada maka puasa tersebut tidak sah. Syarat tersebut adalah: 1. Dalam keadaan suci, terbebas dari haid dan nifas, dan 2. Berniat. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/97)
Para pembaca sekalian ingatlah puasa memiliki syarat-syarat sebagaimana pula shalat. Jika syarat ini tidak ada maka puasa tersebut tidak sah. Syarat tersebut adalah: 1. Dalam keadaan suci, terbebas dari haid dan nifas, dan 2. Berniat. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/97)
Mengenai Niat
Niat merupakan syarat puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
Niat merupakan syarat puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar
biasa. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan atau dalam rangka
diet sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut
bukanlah diucapkan (dilafazkan). Karena yang dimaksud niat adalah maksud
untuk melakukan sesuatu dan tempatnya dalam hati. Dan tatkala seseorang
telah sahur di pagi hari pasti dia sudah berniat dalam hati. Tidak
mungkin seseorang makan sahur, kemudian dia tidak memiliki niat sama
sekali. Ini mustahil! Sehingga para ulama mengatakan,
لَوْ كَلَّفَنَا اللهُ عَمَلاً بِلَا نِيَّةٍ لَكَانَ مِنْ تَكْلِيْفِ مَا لَا يُطَاقُ
“Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini
adalah pembebanan yang sulit dilakukan.” (Lihat Al Fawa’id Dzahabiyyah,
hal.12)
Jika kita memperhatikan lafaz niat puasa Ramadhan yang diucapkan
orang-orang selama ini yaitu ‘nawaitu shouma ghodin an ada’i …‘ yang
biasanya diucapkan bareng-bareng ketika selesai menunaikan shalat
tarawih, tidak memiliki landasan dalil dari Al Qur’an dan Hadits sama
sekali. Orang yang menganjurkan lafaz tersebut pada buku-buku panduan
ibadah yang tersebar di tengah orang awam pun tidak dapat menunjukkan
dalilnya. Mereka tidak memberikan catatan bahwa lafaz niat ini adalah
riwayat Bukhari, Muslim, dsb.
Maka inilah yang menjadi dalil bagi kami bahwa niat tidaklah
diucapkan, cukup dalam hati dan tidak ada lafaz-lafaz tertentu. Semoga
Allah merahmati Imam Nawawi rahimahullah -ulama besar dalam Madzhab
Syafi’i- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah
dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak
terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin,
I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
Wajib Berniat di Setiap Malam Bulan Ramadhan
Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam
kitab beliau Rowdhotuth Tholibin, I/268 dan ini pula yang menjadi
pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Dalilnya adalah hadits
Ibnu Umar dari Hafshoh bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya
tidak sah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shohihul Jami’).
Alasan lainnya bahwasanya hari yang satu dan lainnya adalah ibadah
tersendiri tidak berkaitan dengan lainnya. Jika salah satu hari batal,
hari lainnya tidaklah batal. Dan hal ini jelas berbeda dengan shalat.
Maka pendapat yang kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah niat
harus diperbaharui setiap malam di bulan Ramadhan yang waktunya dapat
dipilih mulai dari terbenamnya matahari hingga terbit fajar (masuknya
shalat shubuh).
Adapun dalam puasa sunnah tidak disyaratkan berniat sebelum terbit
fajar boleh pada siang hari selama belum makan atau minum. Hal ini dapat
dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala di
luar bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
istri yang paling beliau cintai -Aisyah radhiyyallahu ‘anha-, kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki
sesuatu untuk dimakan?” Kemudian Aisyah berkata, “Tidak ada.” Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu saya puasa.”
(HR. Muslim). Dalam menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengatakan,
وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْم النَّافِلَة يَجُوز بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْل زَوَالِ الشَّمْسِ
“Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang
hari sebelum matahari bergeser ke barat pada puasa sunnah.” (Syarh
Nawawi ‘ala Muslim, 4/157, Mawqi’ul Islam -Maktabah Syamilah)
Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-puasa-ramadhan.html
(Perspektif Lain)
Niat dalam Puasa Ramadhan
25/08/2009
Niat dalam Puasa Ramadhan
25/08/2009
Segala sesuatu yang berhubungan dengan niat, selalu ada dalam hati.
Atau selalu dengan hati. Sama sekali tidak dengan lisan. Oleh sebab itu,
melafadzkan atau mengucapkan niat tidaklah wajib hukumnya. Namun
demikian, tidak pula suatu bid’ah yang dosa dan sesat, meskipun hal itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memesukakan isi
lafadz niat tersebut ke dalam hati yang oleh sebab itu menurut suatu
mazhab dipandang sunnah hukumnya, lantaran diyakini akan menjadi
pendorong tercapainya suatu yang wajib. Hanya satu yang perlu
diperhatikan yakni bahwa wajibnya sebuah niat, tidak akan pernah
terpenuhi hanya dengan ucapan lisan, tanpa ada dalam hati.
Bilakah Sebaiknya Berniat Puasa?
Berdasarkan As Sunnah, memang ada perbedaan alokasi waktu untuk
berniat antara puasa Ramadha dan puasa sunnah. Niat puasa Ramadhan harus
dilaksanakan pada malam hari sampai menjelang fajar, sedangkan niat
puasa sunnah tidak.
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَحْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
”Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar
maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah,
dari hafshah)
Hadits yang di atas menegaskan bahwa tidak sah puasa seseorang dengan niat pada saat fajar terbit, apalagi sesudahnya.
Adapun niat puasa sunnah sampai dilaksanakan sebelum tergelincir
Matahari ke arah barat (masuk waktu dzuhur) dan sebelum melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada sebuah Haditz
Riwayat Muslim dan Abu Dawud tentang apa yang dikisahkan oleh Aisyah ra
bahwa Rosulullah SAW pada suatu hari bertanya kepadanya: ”Apakah ada
makanan ?” Aisyah menjawab ”Tidak”. Lantas Rosulullah bersabda : ”Kalau
begitu aku berpuasa”
Apa Sajakah yang Diwajibkan dalam Niat Puasa?
Sesuatu niat dalam ibadah, harus memenuhi beberapa kriteria yang
disesuaikan dengan ibadah yang akan dikerjakan. Untuk niat puasa, ada
dua kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, bermaksud mengerjakan puasa,
yang masuk kategori; qosdul fi’li.
Kedua menyatakan puasa apa yang akan dikerjakan, misalnya puasa
Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lainsebagainya. Dimana hal
ini masuk ketegori ; Atta’yin. Adapun yang menyempurnakan adalah
menegaskan fardhu atau sunnahnya puasa yang akan dikerjakan, yang masuk
dalam ketegori ; Atta’arrudl. Lantas, menegaskan bahwa puasa yang akan
dikerjakannya itu semata-mata karena Allah SWT.
Apakah Sah Puasa Satu Bulan Ramadhan dengan Niat Satu Kali?
Puasa Ramadhan adalah ibadah, dan setiap ibadah wajib diserrtai denga
niat, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin
Khathab RA, yang dapat disimpulkan bahwa sebuah niat tidak dapat
digunakan untuk dua kali ibadah atau lebih.
Hari-hari puasa Ramadhan merupakan merupakan suatu bentuk ibadah
tersendiri yang sama sekali tak terkait dengan puasa hari sebelum dan
sesudahnya. Oleh sebab itu, setiap hari puasa Ramadhan membutuhkan niat
tersendiri.
Namun demikian, sebagian dari para Fuqaha ada pula yang berpendapat
lain yakni bahwa ; ”Puasa sebulan Ramadhan itu cukup hanya berniat satu
kali saja pada hari pertama”. Dimana pendapat itu didasarkan pada
penilaian bahwa puasa sebulan Ramadhan itu adalah sebuah kesatuan, tidak
terpecah-pecah, sehingga layak disebut sebagai satu bentuk ibadah,
dalam artian antara malam hari yang boleh makan minum dengan siang hari
yang harus berpuasa, sudah merupakan suatau gaungan ibadah puasa.
Selain itu mereka juga mengacu pada sebuah Hadits kewajiban niat yang
menytakan bahwa seseorang itu hanya memperoleh apa yang telah
diniatkannya. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa juka seseorang
sudah sekali berniat untuk melaksanakan puasa sebulan Ramadhan, maka ia
akan mendapat yang sesuai dengan apa yang telah diniatkannya itu. Atau
dengan kata lain, puasanya sebulan Ramadhan itu sah.
Sejauh penghematan kami, pendapat yang kedua ini yakni sah berniat
satu kali untuk sebualan puasa Ramadhan sangatlah lemah, lantaran hadits
yang dijadikan dasar acuan pendapat mereka itu masih memiliki
relativikasi pengrtian yang beragam. Artinya pernyataan hadits bahwa
seseoranbg itu akan mandapatkan apa yang telah diniatkannnya, boleh jadi
memang bisa digunakan untuk mengesahkan niat satu kali puasa sebulan
Ramadhan, jika puasa sebulanm Ramadhan itu benar-benar merupakan suatu
bentuk ibadah yang menyatu.
Namun nyatanya walaupun nampak layak disebut ibadah yang menyatu tak
dapat kita pungkiri pula bahwa setiap hari puasa dalam bulan Ramadhan
merupaka suatau bentuk ibadah yang mandiri, sama sekali tidak terkait
dengan hari sebelum atau sesudahnya. Bukti yang paling kongriet ang
mendukung pernyataan ini adalah ; ”Batalnya sehari puasa Ramadhan sama
sekali tidak memepengaruhi puasa hari berikutnya ”. Dan juga sudah jelas
bahwa hari-hari puasa dalam bulan Ramadhan itu merupakan suatu ibadah
yang mandiri maka sulit diingkari bahwasanya setiap hari puasa ramadhan
itu harus disertai dengan niat tersendiri.
Bagaimana Jika tidak Niat Puasa pada Malam Harinya?
Adalah rukun puasa yang merupakan unsur dasar dari setiap ibadah.
Oleh sebab itu, tidaklah sah puasa seseorang jika tidak disettai dengan
niat. Dan jika telah dinyatakan bahwa niat puasa fardlu itu harus
dilakukan pada malam hari, maka tidak sah berniat pada terbit fajar atau
sesudahnya. Dengan demikian jika seseorang tidak berniat puasa Ramadhan
pada malam harinya, maka tidaklah puasanya, sehingga ia wajib melakukan
qadha. Namun demikian tidaklah ia berdosa karenanya, jika tidak
berniatnya itu disebabkan karena utzur, seperti lupa atau tertidur
sampai masuk waktu subuh. Selain itu ia tetap berlaku dan bertindak
sebagaimana layaknya orang yang sedang berpuasa, lantaran ia tidak
termasuk orang yang diberi keringanan untuk meniggalkan puasa yang
memperoleh kebasan berbuka.
Semantara itu, ada pula pendapat lain yakni bahwa dengan
ditinggalkannya niat puasa oleh seseorang pada malam harinya karena
udzur misalnya maka ia diperbolehkan berniat puasa Ramadhan pada pagi
harinya. Pandapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan
bahwa, pada suatu hari tanggal 10 Muharam Rasulullah SAW memberi
perintah kepada sala seorang sahabatnya agar mengintruksikan kepada
semua orang baik yang sudah makan ataupun belum untuk berpuasa.
Menurut kami, pendapat ini patut diterima dengan dasar kebijakan
pertimbangan alasan udzur tersebut bukan lantara puasa Muharam yang
memang bukan fardhu, sebelum difardukannya puasa Ramadhan.
Namun demikian kami tetap memandang bahwa pendapat pertama jauh lebih
kuat lantaran diwajibkannya berniat puasa malam hari itu didasarkan
pada hadits yang sharih atau tegas sebagaimana riwayat dari Hafshah RA.
Sehingga apapun alasannya udzur atau tidak secara mutlak niat puasa
fardhu pada malam hari itu wajib.
Sumber: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=19120
1 comment:
wow! akhirnya nulis lagi.. lamo tak jumpo mas.. :)
Post a Comment