Friday, July 20, 2012

Tentang Niat dalam Puasa Ramadhan

Syarat Puasa
Para pembaca sekalian ingatlah puasa memiliki syarat-syarat sebagaimana pula shalat. Jika syarat ini tidak ada maka puasa tersebut tidak sah. Syarat tersebut adalah: 1. Dalam keadaan suci, terbebas dari haid dan nifas, dan 2. Berniat. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/97)

Mengenai Niat
Niat merupakan syarat puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar biasa. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan atau dalam rangka diet sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafazkan). Karena yang dimaksud niat adalah maksud untuk melakukan sesuatu dan tempatnya dalam hati. Dan tatkala seseorang telah sahur di pagi hari pasti dia sudah berniat dalam hati. Tidak mungkin seseorang makan sahur, kemudian dia tidak memiliki niat sama sekali. Ini mustahil! Sehingga para ulama mengatakan,
لَوْ كَلَّفَنَا اللهُ عَمَلاً بِلَا نِيَّةٍ لَكَانَ مِنْ تَكْلِيْفِ مَا لَا يُطَاقُ
“Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.” (Lihat Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Jika kita memperhatikan lafaz niat puasa Ramadhan yang diucapkan orang-orang selama ini yaitu ‘nawaitu shouma ghodin an ada’i …‘ yang biasanya diucapkan bareng-bareng ketika selesai menunaikan shalat tarawih, tidak memiliki landasan dalil dari Al Qur’an dan Hadits sama sekali. Orang yang menganjurkan lafaz tersebut pada buku-buku panduan ibadah yang tersebar di tengah orang awam pun tidak dapat menunjukkan dalilnya. Mereka tidak memberikan catatan bahwa lafaz niat ini adalah riwayat Bukhari, Muslim, dsb.
Maka inilah yang menjadi dalil bagi kami bahwa niat tidaklah diucapkan, cukup dalam hati dan tidak ada lafaz-lafaz tertentu. Semoga Allah merahmati Imam Nawawi rahimahullah -ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)

Wajib Berniat di Setiap Malam Bulan Ramadhan
Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab beliau Rowdhotuth Tholibin, I/268 dan ini pula yang menjadi pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dari Hafshoh bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’).
Alasan lainnya bahwasanya hari yang satu dan lainnya adalah ibadah tersendiri tidak berkaitan dengan lainnya. Jika salah satu hari batal, hari lainnya tidaklah batal. Dan hal ini jelas berbeda dengan shalat. Maka pendapat yang kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah niat harus diperbaharui setiap malam di bulan Ramadhan yang waktunya dapat dipilih mulai dari terbenamnya matahari hingga terbit fajar (masuknya shalat shubuh).
Adapun dalam puasa sunnah tidak disyaratkan berniat sebelum terbit fajar boleh pada siang hari selama belum makan atau minum. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala di luar bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi istri yang paling beliau cintai -Aisyah radhiyyallahu ‘anha-, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kemudian Aisyah berkata, “Tidak ada.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu saya puasa.” (HR. Muslim). Dalam menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengatakan,
وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْم النَّافِلَة يَجُوز بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْل زَوَالِ الشَّمْسِ
“Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum matahari bergeser ke barat pada puasa sunnah.” (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, 4/157, Mawqi’ul Islam -Maktabah Syamilah)
Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-puasa-ramadhan.html

(Perspektif Lain)
Niat dalam Puasa Ramadhan

25/08/2009
Segala sesuatu yang berhubungan dengan niat, selalu ada dalam hati. Atau selalu dengan hati. Sama sekali tidak dengan lisan. Oleh sebab itu, melafadzkan atau mengucapkan niat tidaklah wajib hukumnya. Namun demikian, tidak pula suatu bid’ah yang dosa dan sesat, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memesukakan isi lafadz niat tersebut ke dalam hati yang oleh sebab itu menurut suatu mazhab dipandang sunnah hukumnya, lantaran diyakini akan menjadi pendorong tercapainya suatu yang wajib. Hanya satu yang perlu diperhatikan yakni bahwa wajibnya sebuah niat, tidak akan pernah terpenuhi hanya dengan ucapan lisan, tanpa ada dalam hati.
Bilakah Sebaiknya Berniat Puasa?
Berdasarkan As Sunnah, memang ada perbedaan alokasi waktu untuk berniat antara puasa Ramadha dan puasa sunnah. Niat puasa Ramadhan harus dilaksanakan pada malam hari sampai menjelang fajar, sedangkan niat puasa sunnah tidak.
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَحْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
”Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah, dari hafshah)
Hadits yang di atas menegaskan bahwa tidak sah puasa seseorang dengan niat pada saat fajar terbit, apalagi sesudahnya.
Adapun niat puasa sunnah sampai dilaksanakan sebelum tergelincir Matahari ke arah barat (masuk waktu dzuhur) dan sebelum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada sebuah Haditz Riwayat Muslim dan Abu Dawud tentang apa yang dikisahkan oleh Aisyah ra bahwa Rosulullah SAW pada suatu hari bertanya kepadanya: ”Apakah ada makanan ?” Aisyah menjawab ”Tidak”. Lantas Rosulullah bersabda : ”Kalau begitu aku berpuasa”
Apa Sajakah yang Diwajibkan dalam Niat Puasa?
Sesuatu niat dalam ibadah, harus memenuhi beberapa kriteria yang disesuaikan dengan ibadah yang akan dikerjakan. Untuk niat puasa, ada dua kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, bermaksud mengerjakan puasa, yang masuk kategori; qosdul fi’li.
Kedua menyatakan puasa apa yang akan dikerjakan, misalnya puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lainsebagainya. Dimana hal ini masuk ketegori ; Atta’yin. Adapun yang menyempurnakan adalah menegaskan fardhu atau sunnahnya puasa yang akan dikerjakan, yang masuk dalam ketegori ; Atta’arrudl. Lantas, menegaskan bahwa puasa yang akan dikerjakannya itu semata-mata karena Allah SWT.

Apakah Sah Puasa Satu Bulan Ramadhan dengan Niat Satu Kali?
Puasa Ramadhan adalah ibadah, dan setiap ibadah wajib diserrtai denga niat, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khathab RA, yang dapat disimpulkan bahwa sebuah niat tidak dapat digunakan untuk dua kali ibadah atau lebih.
Hari-hari puasa Ramadhan merupakan merupakan suatu bentuk ibadah tersendiri yang sama sekali tak terkait dengan puasa hari sebelum dan sesudahnya. Oleh sebab itu, setiap hari puasa Ramadhan membutuhkan niat tersendiri.
Namun demikian, sebagian dari para Fuqaha ada pula yang berpendapat lain yakni bahwa ; ”Puasa sebulan Ramadhan itu cukup hanya berniat satu kali saja pada hari pertama”. Dimana pendapat itu didasarkan pada penilaian bahwa puasa sebulan Ramadhan itu adalah sebuah kesatuan, tidak terpecah-pecah, sehingga layak disebut sebagai satu bentuk ibadah, dalam artian antara malam hari yang boleh makan minum dengan siang hari yang harus berpuasa, sudah merupakan suatau gaungan ibadah puasa.
Selain itu mereka juga mengacu pada sebuah Hadits kewajiban niat yang menytakan bahwa seseorang itu hanya memperoleh apa yang telah diniatkannya. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa juka seseorang sudah sekali berniat untuk melaksanakan puasa sebulan Ramadhan, maka ia akan mendapat yang sesuai dengan apa yang telah diniatkannya itu. Atau dengan kata lain, puasanya sebulan Ramadhan itu sah.
Sejauh penghematan kami, pendapat yang kedua ini yakni sah berniat satu kali untuk sebualan puasa Ramadhan sangatlah lemah, lantaran hadits yang dijadikan dasar acuan pendapat mereka itu masih memiliki relativikasi pengrtian yang beragam. Artinya pernyataan hadits bahwa seseoranbg itu akan mandapatkan apa yang telah diniatkannnya, boleh jadi memang bisa digunakan untuk mengesahkan niat satu kali puasa sebulan Ramadhan, jika puasa sebulanm Ramadhan itu benar-benar merupakan suatu bentuk ibadah yang menyatu.
Namun nyatanya walaupun nampak layak disebut ibadah yang menyatu tak dapat kita pungkiri pula bahwa setiap hari puasa dalam bulan Ramadhan merupaka suatau bentuk ibadah yang mandiri, sama sekali tidak terkait dengan hari sebelum atau sesudahnya. Bukti yang paling kongriet ang mendukung pernyataan ini adalah ; ”Batalnya sehari puasa Ramadhan sama sekali tidak memepengaruhi puasa hari berikutnya ”. Dan juga sudah jelas bahwa hari-hari puasa dalam bulan Ramadhan itu merupakan suatu ibadah yang mandiri maka sulit diingkari bahwasanya setiap hari puasa ramadhan itu harus disertai dengan niat tersendiri.

Bagaimana Jika tidak Niat Puasa pada Malam Harinya?
Adalah rukun puasa yang merupakan unsur dasar dari setiap ibadah. Oleh sebab itu, tidaklah sah puasa seseorang jika tidak disettai dengan niat. Dan jika telah dinyatakan bahwa niat puasa fardlu itu harus dilakukan pada malam hari, maka tidak sah berniat pada terbit fajar atau sesudahnya. Dengan demikian jika seseorang tidak berniat puasa Ramadhan pada malam harinya, maka tidaklah puasanya, sehingga ia wajib melakukan qadha. Namun demikian tidaklah ia berdosa karenanya, jika tidak berniatnya itu disebabkan karena utzur, seperti lupa atau tertidur sampai masuk waktu subuh. Selain itu ia tetap berlaku dan bertindak sebagaimana layaknya orang yang sedang berpuasa, lantaran ia tidak termasuk orang yang diberi keringanan untuk meniggalkan puasa yang memperoleh kebasan berbuka.
Semantara itu, ada pula pendapat lain yakni bahwa dengan ditinggalkannya niat puasa oleh seseorang pada malam harinya karena udzur misalnya maka ia diperbolehkan berniat puasa Ramadhan pada pagi harinya. Pandapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa, pada suatu hari tanggal 10 Muharam Rasulullah SAW memberi perintah kepada sala seorang sahabatnya agar mengintruksikan kepada semua orang baik yang sudah makan ataupun belum untuk berpuasa.
Menurut kami, pendapat ini patut diterima dengan dasar kebijakan pertimbangan alasan udzur tersebut bukan lantara puasa Muharam yang memang bukan fardhu, sebelum difardukannya puasa Ramadhan.
Namun demikian kami tetap memandang bahwa pendapat pertama jauh lebih kuat lantaran diwajibkannya berniat puasa malam hari itu didasarkan pada hadits yang sharih atau tegas sebagaimana riwayat dari Hafshah RA. Sehingga apapun alasannya udzur atau tidak secara mutlak niat puasa fardhu pada malam hari itu wajib.
Sumber: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=19120

Tuesday, December 15, 2009

Ku Nikahi Engkau dengan Al Qur'an


“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki- laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al- Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

(HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)




Thursday, April 30, 2009

Biarkan Cinta Terjaga


Sedari dulu fitrah manusia masih tetap ada dan mangada.
Tetapi terkadang fitrah ini silih berganti mewarnai rasa cinta ini.
Ketika warna cinta itu hijau semakin lama warna hijau itu akan berganti menjadi warna merah setelah sekian lama merah itu akan menjadi warna biru..

Ya Allah, apakah ini hanyalah ujian yang Engkau berikan kepadaku?
Ataukah anugerah-Mu yang Engkau labuhkan dalam lubuk hati ini..

Ketika memang warna itu yang Engkau labuhkan, apakah dadaku ini sanggup menjadi sandaran ketika ia menangis, dan ketika ia mendengar detak jantungku apakah tangisnya akan menjadi senyum yang mengembang?
Sanggupkah cintaku ini tebalkan iman kepadaMu, Ya Allah..
Sanggupkah cintaku ini jadikan dia faham akan tanda-tanda kebesaranMu..
Apakah iman, islam dan ihsanku ini sanggup menjadi payung yang teduh untuk mengiring dia menuju jalan syurgaMu?

Apakah aku sanggup...
Apakah aku sanggup...
Apakah aku sanggup...


Ketika itu menjadi takdir, pertemukanlah kami seakan dalam taman firdausMu..
Yang sekelilingnya penuh dengan bunga yang merkah cerah dan tersamar dengan wangi-wangian kasturi...
Talilah hati kami dalam kalimat syahadatain..

Ya Allah ketika itu bukan waktu yang tepat, jagalah bibit cinta ini dalam hati kami..
Jadikan cinta ini tertidur lelap sebelum dia membangunkan cintaku ataupun sebelum cintanya membangunkanku...
Pupuklah cinta kami dengan ayat-ayatMu, 

Ya Allah yang Maha pemberi cinta, hanyalah padaMu cinta kami bermuara..





Saturday, March 1, 2008

Ketika Cinta

Cinta memang sebuah kata abstrak. Kata yang memiliki banyak arti dan sebuah konsekuensi yang harus dirasakan dan dijalani.

Tak akan ada habisnya ketika kita bicarakan sebuah arti kata cinta. Mencinta dan dicinta, adalah fitrah manusia yang diciptakan oleh Sang Pembuat Cinta. Cinta adalah tanda kebesaran Yang Maha Penciptaan atas kesempurnaan manusia.

Kata cinta berangkat dari sebuah tali penghubung antara dua manusia. Laki-laki kepada perempuan ataupun sebaliknya, cinta dianggap sebagai tali merah yang menghubungkan perbedaan antara keduanya. Kata cinta terdapat tingkatan lebih tinggi dari pada kata naksir, suka, sayang. Kata cinta sendiri sangat complicated atau rumit, kata cinta terbentuk dari berbagai banyak unsur baik sifat yang positif maupun negatif. Sayang, peduli, hasrat memiliki, menjaga, membantu, berkorban merupakan beberapa unsur sifat positif. Sedangkan cemburu, nafsu, sikap sangat possesif merupakan beberapa unsur sifat negatif dari cinta. Ingatlah bahwa ketika cinta teraih bukan pada saatnya, hindarilah dan jauhkanlah dari unsur negatif dari cinta. Sungguh cinta akan melenakan, dan jangan sampai terlena. Tunggulah ketika semua unsur cinta berhak muncul… yaitu ketika sepasang manusia, lelaki dan perempuan terikat oleh ikatan yang suci dan sah.

Mungkin ketika sedang kasmaran, hati akan terasa melayang terbang bebas, indah terasa. Ketika melihat orang yang kita cinta seakan melihat sekuntum bunga mawar merah yang terbasahi oleh embun pagi dibalik padang savana yang hijau. Mencinta... Begitulah cinta... sungguh indah.

Cinta dapat digambarkan sebagai cobaan yang menuntut untuk bersabar dan tabah. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang berlandaskan dalam manusia akan cintanya pada yang menciptakan cinta, itulah cinta yang paling hakiki. Cinta yang abadi hingga akhir perjalanan hidup. Ketika mencintai seseorang sering berucap cinta hingga akhir hayat, cinta yang berupa kesetiaan, kebersamaan, dan kasih sayang yang akan lenyap hingga perjalanan hidup ini mencapai tujuan akhir. Tetapi jika kita kita mencinta atas dasar cinta kita kepada Sang Pembuat Cinta maka arti dan makna cinta akan terus dirasakan walaupun perjalanan hidup ini usai.

Untuk para pengelana cinta carilah cinta yang hakiki, berjuang dan temukanlah.

"Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Written by : addin

Friday, November 16, 2007

Makna Sebuah Kehidupan

Telah lama aku rasakan hal itu, betapa indah perasaan itu aku alami dan suatu saat perasaan itu berbalik menyerangku. Sesak sakit dan tak berdaya aku telah dibuatnya. Akankah hal ini akan aku pendam lama hingga semua orang tidak tahu apa yang aku rasakan?

Yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah dan menunggu saat itu tiba. Saat perasaan itu hilang dan tidak ada yang aku khawatirkan lagi. Aku hanya ingin aku, dia dan yang menciptakan perasaan ini tahu. Apakah aku orang bodoh yang hanya bisa merengek tuk minta belas kasihan kepada orang lain, ataukah aku orang pandai yang bisa menyimpan perasaan itu dan akhirnya akan membusuk dalam jiwaku, selanjutnya akan melumat habis jiwaku hingga hilang. Dan sekali lagi aku adalah manusia yang cuma tunduk pada apa yang Rabb ku anugerahkan padaku, dan aku sadar bahwa itulah fitrahku sebagai manusia yang diberikan kelebihan dari penciptaan manusia dengan makhluk lain.

hidup tidaklah indah, hidup adalah perjuangan tuk capai keindahan yang abadi
Ketika kesabaran adalah suatu jalan.. Akan aku telusuri
ketika cinta adalah tujuan.. Akan aku cari
ketika pengorbanan adalah tumbal.. Akan aku beri

ketika aku meminta kebahagian, Rabb ku berikan penderitaan yang harus aku hadapi
ketika aku ingin ketegaran, Rabb ku berikan cobaan yang harus aku lalui